Thursday, October 24, 2013

Jejak Petualang di Lereng Gunung Lawu : Kemuning I'm Coming



Tema kali ini adalah membangkitkan kembali semangat berpetualang yang sempat diredam beberapa waktu yang lalu karena alasan yang memang pantas untuk dipertanggung jawabkan…ceile.. Akhirnya kesampaian juga untuk mengulas perjalanan tunggalku bersama my Koko Bear ke sebuah dataran tinggi di lereng Gunung Lawu. Agar perjalanan yang sempat kami jalani ini ngga hanya terekam dalam ingatan tapi juga terukir dalam kenangan, maka aku tulis saja jejak petualangan ini.
Sebenarnya sudah jauh hari aku ingin sekali mengunjungi area wisata Kemuning ini karena hampir 2 tahun tidak lagi melihat pemandangan yang menghijaukan mata disana, terakhir kali kesana, aku hampir saja bisa naik menuju ke Candi Cetho, tapi karena kondisi cuaca disana yang tidak menentu, aku dan beberapa temanku terpaksa mengurungkan diri untuk naik karena hujan sudah mendahului langkah kami. Untuk perjalanan kali ini aku dan koko bersiap dari rumah (Boyolali) pukul delapan kurang, kami memilih jalur Ngasem-Colomadu-Fajar Indah, lalu belok ke arah terminal Tirtonadi hingga tembus di perempatan Jebres. Dari Jebres kami terus melaju melewati Boulevard UNS-Taman Wisata Jurug hingga sampai di Palur. Perjalanan kami teruskan sampai memasuki Jaten, kali ini aku meminta koko untuk pelan-pelan mengendarai motornya karena aku ingin mencari lokasi Warung Mie Ayam dan Bakso Inter Milan yang sempat direkomendasikan di group ICI Regional Solo, sayangnya saat melewati warung tersebut, nampak belum ada tanda-tanda persiapan buka L. Motor pun berjalan lebih cepat, namun lagi-lagi saat hendak masuk jalur Karanganyar Kota, jalan ditutup sementara karena acara Car Free Day (waktu ke Sarangan juga terjadi hal sama, dan kami harus melalui jalur alternatif yang muter-muter sampai pabrik gula), namun untuk kesempatan kali ini aku meminta sang pengemudi…hahaaa, untuk memilih jalur kampung saja, dan setelah muter-muter, kami pun sampai di jalur utama lagi dan siap melaju lebih cepat ke lokasi tujuan. Jalan yang kami pilih adalah jalur yang sama jika hendak menuju ke Tawangmangu, namun sebelum sampai di atas, di sebuah tikungan tajam, sebelah kiri jalan (tentunya dari arah Karanganyar kota ya..) kita akan melihat gapura besar bertuliskan “Kawasan Wisata Sukuh-Cetho”, dan akan ada jalan panjang menuju ke kawasan wisata itu.
Gapuro dari jalur utama
Jangan berpikir tempat wisatanya sudah dekat, kenyataannya kami masih harus menempuh beberapa menit perjalanan dengan motor, ditengah perjalanan kami dihentikan oleh petugas retribusi dimana kami diwajibkan membayar karcis masuk lokasi wisata sebesar Rp. 1000,00 (murah bener yach). 
Pos Retribusi Masuk ke Kawasan Wisata
Kami terus melanjutkan perjalanan, hingga sampai disebuah pertigaan, nah karena tujuan utama kami ke Agrowisata Kebun Teh Kemuning, kami memilih belok kiri lalu lurus mengikuti jalan utama (didekat pertigaan tadi ada jalan cabang dan naik curam, itu adalah jalur jika ingin ke Air terjun Parang Kusumo).
Sekitar 5 menit kemudian mataku sudah dihibur dengan hijaunya pemandangan kebun teh yang nampak dari kejauhan, aku pertama kali datang ke lokasi ini adalah ketika praktek mata kuliah perkebunan. Dari pertama kali hingga sekarang, keindahan, keasrian, dan kesejukan Kemuning masih selalu menghipnotisku. Oiya.. bagi pemula yang ingin berlibur ke tempat ini harus hati hati, karena selain medannya yang naik turun, jalannya juga sempit dan banyak lubang, terlebih jika sudah masuk siang area ini sering diguyur hujan sekalipun saat musim kemarau.
Numpang ng-eksis dulu di pinggir jalan
Koko Bear Bergaya di Atas Scorpy nya
Dan,,, akhirnya setelah 1 jam lebih sedikit kami melalui perjalan panjang, sekitar pukul 09.00 Wib sampailah kami di hamparan pemandanan tanaman teh yang sangat luas.. sesaat kami menghentikan motor dan tentunya mengabadikan foto untuk kenang-kenangan, sayangnya Koko Bear ku tidak pernah mau diajak foto bersama ataupun aku ambil fotonya secara langsung, dia lebih asyik mengambil gambar Scorpy-nya yang nangkring di pinggir jalan. Tidak perlu berlama-lama beraksi dipinggir jalan, kami pun memutuskan untuk naik menuju ke Obyek Wisata Candi Cetho. Jalannya agak curam, apalagi belokannya berada tepat di tikungan dan jalannya juga naik cukup tinggi, untung Scorpy siap membawa kami berdua melintasi jalan tersebut. Di bibir jalan, kami dihentikan oleh “mbak-mbak” penjaga pintu retribusi, kami pun harus membayar biaya restribusi Rp. 1000,00 lalu melanjutkan perjalanan kembali. Semakin naik, udara semakin dingin, dan nampak mendung mulai mengitari daerah tersebut. Dengan jalan yang terus menanjak, terjal dan banyak lubang, sampailah kami di lokasi yang sudah dari zaman ABG pingin banget aku kunjungi, yaitu Candi Cetho, sebuah Candi Hindu yang terletak di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Jenawi, Karanganyar, Jawa Tengah.
Sebelum masuk kami harus membeli tiket masuk dulu seharga Rp. 3000,00/orang (biaya parkir motor kalau ngga salah Rp. 2000,00). Setelah tiket ditangan, kami pun melenggangkan kaki berjalan menuju ke Candi, dimana pada pintu utama kami sudah disambut dengan anak tangga yang lumayan buanyakk, sampai diatas, ada sedikit bagian datar yang berisi taman, papan nama dan papan informasi tentang sejarah Candi Cetho sebelum kemudian ada anak tangga lagi yang jumlahnya ngga terlalu banyak dari anak tangga pertama. Tak kusia-siakan kesempatan untuk berfoto ria di gapura masuk ini, sayangnya hasilnya seperti siluet karena tidak didukung pencahayaan yang bagus (tapi agak keren juga sich).
Foto diambang gapura utama
Memasuki area Candi Cetho, ternyata candi tersebut berbentuk seperti punden berundak, jadi setiap kami memasuki bagian tertentu, kami harus menaiki anak tangga dahulu. Bagian pertama hanya berisi taman dan lumayan cukup luas, naik ke tingkat diatasnya, kami melihat ada batu yang ditata ditanah membentuk simbol simbol khusus yang ngga aku pahami, selain itu juga ada dua arca kecil namun bentuknya sudah tidak sempurna lagi. Kami pun menaiki tingkat diatasnya, diatasnya dan diatasnya lagi (lupa juga sich ada berapa tingkat bagaian, yang jelas tidak lupa disetiap tingkat aku selalu mengabadikannya dengan kamera HP koko Bear ku).
Aras pertama yang berupa taman
Sebuah Bangunan disalah satu aras
Sedikit informasi yang aku comot dari wikipedia.com (biar nambah ilmu gitu) Candi Cetho ini ternyata sudah beberapa kali mengalami pemugaran, dan sekarang ini ada sembilan tingkatan, Bagian (aras) pertama setelah gapura masuk berupa halaman candi yang tadi aku tulis berisi taman, pada aras kedua masih berupa halaman dan terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi yang merupakan leluhur masyarakat Dusun Cetho. 
Pada aras ketiga inilah terdapat tumpukan batu mendatar dipermukaan tanah berbentuk simbol yang merupakan wujud dari kura-kura raksasa, Surya Majapahit (diduga lambang Majapahit), simbol Phallus (berbentuk seperti penis), selain itu juga ada simbol hewan seeprti katak, mimi, dan ketam (sejenis kepiting). Pada aras keempat, dapat ditemui sebuah jajaran batu pada dua dataran yang bersebelahan (seperti panggung dengan tinggi sekitar 50 cm) dan memuat relief cuplikan kisah Sudhamala. 
Numpang nampang di aras ke lima
Sedangkan aras selanjutnya, yaitu kelima dan keenam, masing-masing terdapat bangunan-bangunan pendopo disisi kanan dan disisi kiri dimana mengapit jalan masuk ke candi. Disalah satu pendapa ini aku dan Koko sempat duduk sembentar untuk rehat dan melihat bagian aras dibawah kami, sedangkan kokoku justru sibuk memperhatikan banyaknya bangunan tower/ BTS beberapa provider seluler yang nangkring dihalaman depan Candi (seolah berlomba mencari lokasi terbaik untuk memancarkan jaringannya). Kembali ke pendopo di aras kelima dan keenam ini, ternyata sampai sekarang pendopo ini masih digunakan untuk melangsungkan upacara keagaaman. Selanjutnya, di aras ketujuh, terdapat bangunan seperti pendopo kecil disisi kanan dan kiri menghadap ke dua arca di depannya yaitu arca Sabdapalon disisi utara dan Nayagenggong disisi selatan yang masing-masing ditempatkan dalam gasebo kayu dengan satu pintu terbuka. Saat kami disana, masih ada beberapa bekas kemenyan dan bunga sedap malam yang sepertinya sebagai bagian dari upacara ritual keagaaman. Selain itu, didekat bangunan gasebo juga terdapat bangunan lain yang tertutup dan digembok, sepertinya tempat untuk menyimpan alat ibadah.
Arca phallus (kuntobimo)
Arca Brawijaya V dalam wujud Mahadewa



















Kami kemudian melanjutkan naik ke tingkat selanjutnya, di aras ke delapan ini masih ditemui bentuk dan jenis bangunan yang sama persis dengan aras ketujuh, bedanya hanya dari jenis arca yang ada di dalam bangunan berbentuk gasebo itu, pada sisi utara terdapat arca berbentuk phallus yang disebut kuntobimo, melihat bentuk nya, pasti bikin geli, lebih lebih para kaum adam..heheee, sedangkan di sisi selatan terdapat arca Brawijaya V dalam wujud Mahadewa. Dan, satu unden berundak lagi yang mesti kami lalui untuk mencapai di aras terakhir atau aras ke sembilan. Disinilah terdapat bangunan Candi Utama yang bentuknya seperti limas segi empat, ukurannya tidak terlalu besar, di bagian tengah masih terdapat anak tangga menuju bagian dalam Candi, namun diatas tangga tersebut dipasang pintu besi dan terkunci dimana berarti para pengunjung dilarang masuk ke dalam area Candi Utama. Kemungkinan besar untuk menjaga kesucian Candi tersebut. Aku pun lalu melihat sekitar candi tersebut, dan disisi bagian utara, terdapat batu candi yang rusak dan membuat dinding candi nampak seperti akan roboh. Kesempatan berada di aras sembilan ini pun tidak aku sia-siakan untuk kembali beraksi layaknya model diponsel pribadi. Selain dengan background Candi Utama, pengambilan foto dari gapura dan diarahkan ke bawah juga cukup bagus, karena akan nampak seperti lorong ruangan yang menurun. Nich foto-foto yang aku ambil dari aras kesembilan :
Candi Utama (Hoby ku adalah moto miring-miring)
Foto yang diambil dari aras sembilan diarahkan kebawah
My favorit pose (obsesi jadi cicak kayaknya nich)
Setelah matigaya didepan kamera, kami pun memutuskan untuk turun, namun mataku sempat melihat petunjuk arah ke Candi Kethek, aku pun mengajak koko untuk belok ke arah itu. Tapi ternyata masih perlu berjalan naik lagi untuk mencapai lokasi tersebut, dan kami memutuskan untuk tidak mengunjungi Candi Kethek (karena kurang familiar dan sepertinya tidak terlalu menarik), tapi bagi yang kepingin melihat bagaimana bentuk candi tersebut, tak ada salahnya untuk berjalan lagi sekitar 300 m dari pintu loket Candi Kethek, selain itu, dikomplek tersebut juga ada Puri Saraswati yang diresmikan pad tahun 2004, dimana merupakan wujud tali persaudaraan antara masyarakat Dukuh Cetha dan sekitarnya dengan masyarakat Gianyar, Bali yang mempunyai persamaan spiritual dalam keagamaan. Berhubung aku tidak menuju lokasi tersebut, aku lampirkan foto yang aku dapat dari hasil browsing saja sekedar untuk informasi.



Candi Kethek
Puri Saraswati
Hanya sekitar 30 menit kami berada di Candi Cetho lalu perjalananpun kami lanjutkan. Seperti rencana sebelumnya, aku ingin sekali mengabadikan foto didekat area kebun teh. Sesampai area perkebunan teh, Koko kemudian mengarahkan motornya kejalan setapak dan mencari view yang bagus untuk berpose, kemudian aku pilih disebuah tikungan yang tak beraspal, setelah agak kesulitan memarkirkan motor karena jalan landai dan tidak beraturan, koko pun kemudian beraksi menjadi fotografer untukku yang seolah menjadi uler yang sedang naik daun. Hahaaaa…., Moment ini pun aku gunakan untuk mengambil foto Koko dari kejauhan. 
Pose Si Uler naik Daun..hahaa
Setelah beraksi dikebun Teh, perjalanan kami lanjutkan. Saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul 10.10 Wib, sekalian ada diarea wisata, aku pun mengajak Koko ke Air terjun Parang Kusumo, awalnya koko menolak tapi karena aku pikir masih terlalu pagi untuk pulang, ngga ada salahnya ke satu obyek wisata lagi. Di area ini memang ada beberapa objek wisata lainnya, seperti Candi Sukuh yang lokasinya agak dibawah, namun Candi sukuh relatif kecil dan tidak terlalu ramai, selain itu ada Air terjun Jumog juga, air terjun ini adalah air terjun alami, namun tidak terlalu tinggi dan sewaktu terakhir aku kesana, suasananya sangat kotor dan tidak terawat. Karena Air Terjun Parang Kusumo adalah yang belum aku kunjungi, aku pun ingin sekali kesana. Mumpung masih berada disatu lokasi juga.
Beranjaklah kami ke air terjun tersebut, menyusuri jalan yang sama saat tadi kami berangkat, setelah melewati pabrik Teh, beberapa meter kemudian kami dipertemukan lagi dengan pertigaan awal, namun sebelum pertigaan utama tersebut, disebelah kiri jalan ada jalan menanjak akses menuju ke Air Terjun Parang Kusumo, dengan belokan yang agak menikuk, akhirnya kami berhasil naik juga. Jalannya tidak kalah sempit, terjal dan penuh belokan curam. Tidak butuh waktu lama, kami pun sudah menemukan petunjuk arah ke Air terjun, sesampai diparkiran, ternyata sudah ada sekitar 50 motor parkir disana, lebih ramai sepertinya daripada di Candi Cetho. Dengan membayar tiket seharga Rp. 3000,00/ orang, kami pun menyusuri jalan setapak yang kupikir akan sangat jauh seperti jika kita berkunjung ke obyek Air Terjun, tapi ternyata tidak.
Saat masuk, kami sudah disambut dengan anak tangga menurun dan tanaman palm disekitarnya, menurutku tamannya sangat asri dan sudah banyak campur tangan manusia dilokasi ini, benar sepertinya kata salah satu temanku di Group ICI Solo kalau air terjun ini adalah air terjun buatan. Seiring menyusuri jalan, tak lupa setiap ada lokasi bagus, aku selalu berfoto ria.. Sendiri,,ya berfoto sendiri dengan sangat bangganya terlebih saat itu aku memakai jersey Inter Milan (Koko Bearnya ngga pernah mau diajak foto.. takut gantengnya ilang kaleee tuch orang).
Bangga ber-jersey Biru-Hitam
Suasana Taman di Parang Kusmumo
Sebelum masuk ke area air terjun, ada sebuah tempat datar yang berfungi untuk bersantai sesaat, namun aku tak mau berlama-lama, aku pun langsung menuju ke anak air terjun kecil, berbagai gaya aku lakukan disekitar tempat itu, tapi entahlah kenapa hasilnya semua kabur ya?? (hehee..apakah ada something wrong ditempat itu), tak mau berfikir aneh-aneh, kam pun naik ke dekat air terjuan. 
Gambar yang paling tidak terlihat kaburrr
Yeach..tepat seperti kata temanku, air terjun ini memang nampak ada campur tangan manusia. Air yang turun dari atas bukit memang tidak deras, itupun jika aku menengok keatas, nampak ada sebuah papan penyangga diatas yang seolah memberikan tambahan jalan air terjun sehingga air tampak mengucur dan baru jatuh kebawah mengenai dinding-dinding tebing, jika tanpa saluran tambahan tersebut, aku fikir air hanya akan merembes didinding tebing dan tidak akan nampak seperti air terjun semestinya. Air yang jatuh pun tidak memberikan efek embun yang banyak seperti jika kita berada di Jumog ataupun di Kedung Kayang (dengan ketinggian yang hampir sama).
Pehatikan bagian tambahan diatas bukitnya
Air terjun yang mengenai dinding tebing
Tetep nampang meski sendal sudah mau jebat
Puas menikmati suasana di air terjun Parang Kusumo, kami pun memutuskan untuk pulang, terlebih kondisi sendalku yang hampir jebat tidak memungkinkan aku untuk berlama lama didekat air. Kami keluar melalu jaur yang berbeda dan melewati sebuah kolam renang buatan yang terdapat beberapa keluarga tengah berenang disana. Sesampai diparkiran, kami pun menyiapkan perlengkapan seperti kaos tangan dan slayer karena setelah ini kami memutuskan untuk langusng meluncur turun dan mampir ke Warung Mie Ayam dan Bakso Inter Milan. Perjalanan turun terasa jauh lebih cepat, namun kondisi cuaca semakin kebawah, semakin terasa panasnya. Sesampai di Karanganyar kota, aku berharap Warung itu buka (karena tanda-tanda awal seperti tidak buka), dan benar.. tepat melewatinya, ternyata warung itu tutup dengan sangat manisnya, tentu saja Koko ku pasti seneng banget dech.. Berhubung perut sudah sangat lapar, kami akhirnya beralih haluan untuk berhenti di salah satu warung steak yang berlokasi di Pasar Nongko Solo. Dan perjalan menyusuri lereng Gunung Lawu pun aku akhiri sampai disini, semoga bermanfaat danSampai jumpa di perjalan selanjutnya yang semoga lebih seru dan penuh tantangan.


*Forza Inter Milan 1908x….*

Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Ceto
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Kethek
 

No comments:

Post a Comment