Tema kali ini adalah membangkitkan kembali semangat berpetualang yang
sempat diredam beberapa waktu yang lalu karena alasan yang memang pantas untuk
dipertanggung jawabkan…ceile.. Akhirnya kesampaian juga untuk mengulas
perjalanan tunggalku bersama my Koko Bear ke sebuah dataran tinggi di lereng
Gunung Lawu. Agar perjalanan yang sempat kami jalani ini ngga hanya terekam
dalam ingatan tapi juga terukir dalam kenangan, maka aku tulis saja jejak
petualangan ini.
Sebenarnya sudah jauh hari aku ingin sekali mengunjungi area wisata
Kemuning ini karena hampir 2 tahun tidak lagi melihat pemandangan yang
menghijaukan mata disana, terakhir kali kesana, aku hampir saja bisa naik
menuju ke Candi Cetho, tapi karena kondisi cuaca disana yang tidak menentu, aku
dan beberapa temanku terpaksa mengurungkan diri untuk naik karena hujan sudah
mendahului langkah kami. Untuk perjalanan kali ini aku dan koko bersiap dari
rumah (Boyolali) pukul delapan kurang, kami memilih jalur Ngasem-Colomadu-Fajar
Indah, lalu belok ke arah terminal Tirtonadi hingga tembus di perempatan
Jebres. Dari Jebres kami terus melaju melewati Boulevard UNS-Taman Wisata Jurug
hingga sampai di Palur. Perjalanan kami teruskan sampai memasuki Jaten, kali
ini aku meminta koko untuk pelan-pelan mengendarai motornya karena aku ingin
mencari lokasi Warung Mie Ayam dan Bakso Inter Milan yang sempat
direkomendasikan di group ICI Regional Solo, sayangnya saat melewati warung
tersebut, nampak belum ada tanda-tanda persiapan buka L. Motor pun berjalan lebih
cepat, namun lagi-lagi saat hendak masuk jalur Karanganyar Kota, jalan ditutup
sementara karena acara Car Free Day (waktu ke Sarangan juga terjadi hal sama,
dan kami harus melalui jalur alternatif yang muter-muter sampai pabrik gula),
namun untuk kesempatan kali ini aku meminta sang pengemudi…hahaaa, untuk
memilih jalur kampung saja, dan setelah muter-muter, kami pun sampai di jalur
utama lagi dan siap melaju lebih cepat ke lokasi tujuan. Jalan yang kami pilih
adalah jalur yang sama jika hendak menuju ke Tawangmangu, namun sebelum sampai
di atas, di sebuah tikungan tajam, sebelah kiri jalan (tentunya dari arah
Karanganyar kota ya..) kita akan melihat gapura besar bertuliskan “Kawasan
Wisata Sukuh-Cetho”, dan akan ada jalan panjang menuju ke kawasan wisata itu.
|
Gapuro dari jalur utama |
Jangan berpikir tempat wisatanya sudah dekat, kenyataannya kami masih harus
menempuh beberapa menit perjalanan dengan motor, ditengah perjalanan kami dihentikan
oleh petugas retribusi dimana kami diwajibkan membayar karcis masuk lokasi
wisata sebesar Rp. 1000,00 (murah bener yach).
|
Pos Retribusi Masuk ke Kawasan Wisata |
Kami terus melanjutkan
perjalanan, hingga sampai disebuah pertigaan, nah karena tujuan utama kami ke
Agrowisata Kebun Teh Kemuning, kami memilih belok kiri lalu lurus mengikuti
jalan utama (didekat pertigaan tadi ada jalan cabang dan naik curam, itu adalah
jalur jika ingin ke Air terjun Parang Kusumo).
Sekitar 5 menit kemudian mataku sudah dihibur dengan hijaunya
pemandangan kebun teh yang nampak dari kejauhan, aku pertama kali datang ke
lokasi ini adalah ketika praktek mata kuliah perkebunan. Dari pertama kali
hingga sekarang, keindahan, keasrian, dan kesejukan Kemuning masih selalu
menghipnotisku. Oiya.. bagi pemula yang ingin berlibur ke tempat ini harus hati
hati, karena selain medannya yang naik turun, jalannya juga sempit dan banyak
lubang, terlebih jika sudah masuk siang area ini sering diguyur hujan sekalipun
saat musim kemarau.
|
Numpang ng-eksis dulu di pinggir jalan |
|
Koko Bear Bergaya di Atas Scorpy nya |
Dan,,, akhirnya setelah 1 jam lebih sedikit kami melalui perjalan
panjang, sekitar pukul 09.00 Wib sampailah kami di hamparan pemandanan tanaman
teh yang sangat luas.. sesaat kami menghentikan motor dan tentunya mengabadikan
foto untuk kenang-kenangan, sayangnya Koko Bear ku tidak pernah mau diajak foto
bersama ataupun aku ambil fotonya secara langsung, dia lebih asyik mengambil
gambar Scorpy-nya yang nangkring di pinggir jalan. Tidak perlu berlama-lama
beraksi dipinggir jalan, kami pun memutuskan untuk naik menuju ke Obyek Wisata
Candi Cetho. Jalannya agak curam, apalagi belokannya berada tepat di tikungan
dan jalannya juga naik cukup tinggi, untung Scorpy siap membawa kami berdua
melintasi jalan tersebut. Di bibir jalan, kami dihentikan oleh “mbak-mbak”
penjaga pintu retribusi, kami pun harus membayar biaya restribusi Rp. 1000,00
lalu melanjutkan perjalanan kembali. Semakin naik, udara semakin dingin, dan
nampak mendung mulai mengitari daerah tersebut. Dengan jalan yang terus
menanjak, terjal dan banyak lubang, sampailah kami di lokasi yang sudah dari
zaman ABG pingin banget aku kunjungi, yaitu Candi Cetho, sebuah Candi Hindu
yang terletak di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Jenawi, Karanganyar, Jawa Tengah.
Sebelum masuk kami harus membeli tiket masuk dulu seharga Rp.
3000,00/orang (biaya parkir motor kalau ngga salah Rp. 2000,00). Setelah tiket
ditangan, kami pun melenggangkan kaki berjalan menuju ke Candi, dimana pada
pintu utama kami sudah disambut dengan anak tangga yang lumayan buanyakk,
sampai diatas, ada sedikit bagian datar yang berisi taman, papan nama dan papan
informasi tentang sejarah Candi Cetho sebelum kemudian ada anak tangga lagi
yang jumlahnya ngga terlalu banyak dari anak tangga pertama. Tak kusia-siakan
kesempatan untuk berfoto ria di gapura masuk ini, sayangnya hasilnya seperti
siluet karena tidak didukung pencahayaan yang bagus (tapi agak keren juga
sich).
|
Foto diambang gapura utama |
Memasuki area Candi Cetho, ternyata candi tersebut berbentuk seperti
punden berundak, jadi setiap kami memasuki bagian tertentu, kami harus menaiki
anak tangga dahulu. Bagian pertama hanya berisi taman dan lumayan cukup luas,
naik ke tingkat diatasnya, kami melihat ada batu yang ditata ditanah membentuk
simbol simbol khusus yang ngga aku pahami, selain itu juga ada dua arca kecil
namun bentuknya sudah tidak sempurna lagi. Kami pun menaiki tingkat diatasnya,
diatasnya dan diatasnya lagi (lupa juga sich ada berapa tingkat bagaian, yang
jelas tidak lupa disetiap tingkat aku selalu mengabadikannya dengan kamera HP
koko Bear ku).
|
Aras pertama yang berupa taman |
|
Sebuah Bangunan disalah satu aras |
Sedikit informasi yang aku comot dari wikipedia.com (biar nambah ilmu
gitu) Candi Cetho ini ternyata sudah beberapa kali mengalami pemugaran, dan
sekarang ini ada sembilan tingkatan, Bagian (aras) pertama setelah gapura masuk
berupa halaman candi yang tadi aku tulis berisi taman, pada aras kedua masih
berupa halaman dan terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi yang merupakan
leluhur masyarakat Dusun Cetho.
Pada aras ketiga inilah terdapat tumpukan batu
mendatar dipermukaan tanah berbentuk simbol yang merupakan wujud dari kura-kura
raksasa, Surya Majapahit (diduga lambang Majapahit), simbol Phallus (berbentuk
seperti penis), selain itu juga ada simbol hewan seeprti katak, mimi, dan ketam
(sejenis kepiting). Pada aras keempat, dapat ditemui sebuah jajaran batu pada
dua dataran yang bersebelahan (seperti panggung dengan tinggi sekitar 50 cm)
dan memuat relief cuplikan kisah Sudhamala.
|
Numpang nampang di aras ke lima |
Sedangkan aras selanjutnya, yaitu
kelima dan keenam, masing-masing terdapat bangunan-bangunan pendopo disisi
kanan dan disisi kiri dimana mengapit jalan masuk ke candi. Disalah satu
pendapa ini aku dan Koko sempat duduk sembentar untuk rehat dan melihat bagian
aras dibawah kami, sedangkan kokoku justru sibuk memperhatikan banyaknya
bangunan tower/ BTS beberapa provider seluler yang nangkring dihalaman depan
Candi (seolah berlomba mencari lokasi terbaik untuk memancarkan jaringannya).
Kembali ke pendopo di aras kelima dan keenam ini, ternyata sampai sekarang
pendopo ini masih digunakan untuk melangsungkan upacara keagaaman. Selanjutnya,
di aras ketujuh, terdapat bangunan seperti pendopo kecil disisi kanan dan kiri
menghadap ke dua arca di depannya yaitu arca Sabdapalon disisi utara dan
Nayagenggong disisi selatan yang masing-masing ditempatkan dalam gasebo kayu
dengan satu pintu terbuka. Saat kami disana, masih ada beberapa bekas kemenyan
dan bunga sedap malam yang sepertinya sebagai bagian dari upacara ritual
keagaaman. Selain itu, didekat bangunan gasebo juga terdapat bangunan lain yang
tertutup dan digembok, sepertinya tempat untuk menyimpan alat ibadah.
|
Arca phallus (kuntobimo) |
|
Arca Brawijaya V dalam wujud Mahadewa |
Kami kemudian melanjutkan naik ke tingkat selanjutnya, di aras ke
delapan ini masih ditemui bentuk dan jenis bangunan yang sama persis dengan
aras ketujuh, bedanya hanya dari jenis arca yang ada di dalam bangunan
berbentuk gasebo itu, pada sisi utara terdapat arca berbentuk phallus yang
disebut kuntobimo, melihat bentuk nya, pasti bikin geli, lebih lebih para kaum
adam..heheee, sedangkan di sisi selatan terdapat arca Brawijaya V dalam wujud Mahadewa. Dan, satu unden berundak lagi yang mesti kami lalui untuk mencapai di
aras terakhir atau aras ke sembilan. Disinilah terdapat bangunan Candi Utama
yang bentuknya seperti limas segi empat, ukurannya tidak terlalu besar, di
bagian tengah masih terdapat anak tangga menuju bagian dalam Candi, namun
diatas tangga tersebut dipasang pintu besi dan terkunci dimana berarti para
pengunjung dilarang masuk ke dalam area Candi Utama. Kemungkinan besar untuk
menjaga kesucian Candi tersebut. Aku pun lalu melihat sekitar candi tersebut,
dan disisi bagian utara, terdapat batu candi yang rusak dan membuat dinding
candi nampak seperti akan roboh. Kesempatan berada di aras sembilan ini pun
tidak aku sia-siakan untuk kembali beraksi layaknya model diponsel pribadi.
Selain dengan background Candi Utama, pengambilan foto dari gapura dan
diarahkan ke bawah juga cukup bagus, karena akan nampak seperti lorong ruangan
yang menurun. Nich foto-foto yang aku ambil dari aras kesembilan :
|
Candi Utama (Hoby ku adalah moto miring-miring) |
|
Foto yang diambil dari aras sembilan diarahkan kebawah |
|
My favorit pose (obsesi jadi cicak kayaknya nich) |
Setelah matigaya didepan
kamera, kami pun memutuskan untuk turun, namun mataku sempat melihat petunjuk
arah ke Candi Kethek, aku pun mengajak koko untuk belok ke arah itu. Tapi
ternyata masih perlu berjalan naik lagi untuk mencapai lokasi tersebut, dan
kami memutuskan untuk tidak mengunjungi Candi Kethek (karena kurang familiar
dan sepertinya tidak terlalu menarik), tapi bagi yang kepingin melihat
bagaimana bentuk candi tersebut, tak ada salahnya untuk berjalan lagi sekitar 300 m dari pintu loket Candi Kethek, selain itu, dikomplek tersebut
juga ada Puri Saraswati yang diresmikan pad tahun 2004, dimana merupakan wujud tali persaudaraan antara masyarakat Dukuh
Cetha dan sekitarnya dengan masyarakat Gianyar, Bali yang mempunyai persamaan
spiritual dalam keagamaan. Berhubung aku tidak menuju lokasi tersebut, aku lampirkan foto yang aku dapat dari hasil browsing saja sekedar untuk informasi.
|
Candi Kethek |
|
Puri Saraswati |
Hanya sekitar 30 menit kami berada di Candi Cetho lalu perjalananpun
kami lanjutkan. Seperti rencana sebelumnya, aku ingin sekali mengabadikan foto
didekat area kebun teh. Sesampai area perkebunan teh, Koko kemudian mengarahkan
motornya kejalan setapak dan mencari view yang bagus untuk berpose, kemudian
aku pilih disebuah tikungan yang tak beraspal, setelah agak kesulitan
memarkirkan motor karena jalan landai dan tidak beraturan, koko pun kemudian
beraksi menjadi fotografer untukku yang seolah menjadi uler yang sedang naik
daun. Hahaaaa…., Moment ini pun aku gunakan untuk mengambil foto Koko dari
kejauhan.
|
Pose Si Uler naik Daun..hahaa |
Setelah beraksi dikebun Teh, perjalanan kami lanjutkan. Saat itu
waktu menunjukkan sekitar pukul 10.10 Wib, sekalian ada diarea wisata, aku pun
mengajak Koko ke Air terjun Parang Kusumo, awalnya koko menolak tapi karena aku
pikir masih terlalu pagi untuk pulang, ngga ada salahnya ke satu obyek wisata
lagi. Di area ini memang ada beberapa objek wisata lainnya, seperti Candi Sukuh
yang lokasinya agak dibawah, namun Candi sukuh relatif kecil dan tidak terlalu
ramai, selain itu ada Air terjun Jumog juga, air terjun ini adalah air terjun
alami, namun tidak terlalu tinggi dan sewaktu terakhir aku kesana, suasananya
sangat kotor dan tidak terawat. Karena Air Terjun Parang Kusumo adalah yang
belum aku kunjungi, aku pun ingin sekali kesana. Mumpung masih berada disatu
lokasi juga.
Beranjaklah kami ke air terjun tersebut, menyusuri jalan yang sama
saat tadi kami berangkat, setelah melewati pabrik Teh, beberapa meter kemudian
kami dipertemukan lagi dengan pertigaan awal, namun sebelum pertigaan utama
tersebut, disebelah kiri jalan ada jalan menanjak akses menuju ke Air Terjun
Parang Kusumo, dengan belokan yang agak menikuk, akhirnya kami berhasil naik
juga. Jalannya tidak kalah sempit, terjal dan penuh belokan curam. Tidak butuh
waktu lama, kami pun sudah menemukan petunjuk arah ke Air terjun, sesampai
diparkiran, ternyata sudah ada sekitar 50 motor parkir disana, lebih ramai
sepertinya daripada di Candi Cetho. Dengan membayar tiket seharga Rp. 3000,00/
orang, kami pun menyusuri jalan setapak yang kupikir akan sangat jauh seperti
jika kita berkunjung ke obyek Air Terjun, tapi ternyata tidak.
Saat masuk, kami
sudah disambut dengan anak tangga menurun dan tanaman palm disekitarnya,
menurutku tamannya sangat asri dan sudah banyak campur tangan manusia dilokasi
ini, benar sepertinya kata salah satu temanku di Group ICI Solo kalau air
terjun ini adalah air terjun buatan. Seiring menyusuri jalan, tak lupa setiap
ada lokasi bagus, aku selalu berfoto ria.. Sendiri,,ya berfoto sendiri dengan
sangat bangganya terlebih saat itu aku memakai jersey Inter Milan (Koko Bearnya
ngga pernah mau diajak foto.. takut gantengnya ilang kaleee tuch orang).
|
Bangga ber-jersey Biru-Hitam |
|
Suasana Taman di Parang Kusmumo |
Sebelum masuk ke area air terjun, ada sebuah tempat datar yang
berfungi untuk bersantai sesaat, namun aku tak mau berlama-lama, aku pun
langsung menuju ke anak air terjun kecil, berbagai gaya aku lakukan disekitar
tempat itu, tapi entahlah kenapa hasilnya semua kabur ya?? (hehee..apakah ada
something wrong ditempat itu), tak mau berfikir aneh-aneh, kam pun naik ke
dekat air terjuan.
|
Gambar yang paling tidak terlihat kaburrr |
Yeach..tepat seperti kata temanku, air terjun ini memang
nampak ada campur tangan manusia. Air yang turun dari atas bukit memang tidak
deras, itupun jika aku menengok keatas, nampak ada sebuah papan penyangga diatas
yang seolah memberikan tambahan jalan air terjun sehingga air tampak mengucur
dan baru jatuh kebawah mengenai dinding-dinding tebing, jika tanpa saluran
tambahan tersebut, aku fikir air hanya akan merembes didinding tebing dan tidak
akan nampak seperti air terjun semestinya. Air yang jatuh pun tidak memberikan
efek embun yang banyak seperti jika kita berada di Jumog ataupun di Kedung
Kayang (dengan ketinggian yang hampir sama).
|
Pehatikan bagian tambahan diatas bukitnya |
|
Air terjun yang mengenai dinding tebing |
|
Tetep nampang meski sendal sudah mau jebat |
Puas menikmati suasana di air terjun Parang Kusumo, kami pun
memutuskan untuk pulang, terlebih kondisi sendalku yang hampir jebat tidak
memungkinkan aku untuk berlama lama didekat air. Kami keluar melalu jaur yang
berbeda dan melewati sebuah kolam renang buatan yang terdapat beberapa keluarga
tengah berenang disana. Sesampai diparkiran, kami pun menyiapkan perlengkapan
seperti kaos tangan dan slayer karena setelah ini kami memutuskan untuk
langusng meluncur turun dan mampir ke Warung Mie Ayam dan Bakso Inter Milan.
Perjalanan turun terasa jauh lebih cepat, namun kondisi cuaca semakin kebawah,
semakin terasa panasnya. Sesampai di Karanganyar kota, aku berharap Warung itu
buka (karena tanda-tanda awal seperti tidak buka), dan benar.. tepat
melewatinya, ternyata warung itu tutup dengan sangat manisnya, tentu saja Koko
ku pasti seneng banget dech.. Berhubung perut sudah sangat lapar, kami akhirnya
beralih haluan untuk berhenti di salah satu warung steak yang berlokasi di
Pasar Nongko Solo. Dan perjalan menyusuri lereng Gunung Lawu pun aku akhiri
sampai disini, semoga bermanfaat danSampai jumpa di perjalan selanjutnya yang semoga lebih seru dan penuh
tantangan.
*Forza
Inter Milan 1908x….*
Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Ceto
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Kethek
No comments:
Post a Comment